BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN
TA’ARUD AL-ADILLAH
A.
Ta’arud
Al-Adillah Secara bahasa kata ( التعارض ) berarti pertentangan dan lafadz (الأدلة) merupakan jama’ dari lafadz (الدليل ) yang berarti alasan, argument dan dalil.
B.
Menurut
ahli ushul fiqih
C.
Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi sebagai berikut:
“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang
diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta yang
banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (QS.
Al-Baqarah: 180).
Ayat di atas secara dhahir maknanya mengalami
kontradiksi dengan ayat sebagai berikut:
“Allah mensyari’tkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian orang laki-laki sama dengan dua orang
anak perempuan.” (QS. An-Nisa’:11)
Ayat pertama
mewajibkan kepada yang telah merasa mendekati ajalnya agar mewasiatkan harta
pusakanya kepada orang tua dan sanak kerabatnya secara baik. Dan ayat kedua
menetapkan masing-masing orang tua anak-anak dan sanak kerabat mendapat hak
dari harta pusaka lantaran wasiat Allah bukan wasiat yang mewariskan. Berarti
kedua ayat tersebut kontradiksi secara makna lahirnya dan mungkin bisa
mengkompromikan keduanya, yaitu jika yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat
180 itu kedua orang tua dan sanak kerabat, maka itu merupakan ketentuan tentang
mereka yang terhalang mendapat warisan oleh suatu penghalang seperti perbedaan
agama.
D.
Cara Penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah.
Penyelesaian Ta’arudh
Al-Adillah secara garis besar terbagai menjadi 2 metode yang digunakan oleh
mujtahid yaitu Metode Hanafiyah dan Metode Syafi’iyah.
Hanafiyah
Membagi Usaha-usaha Penyelesaian Ta’arudh al-Adillah menjadi 4 tahap yaitu:
·
Naskh, Tarjih
·
Jam’u wa Taufiq, Tasaqut al-Dalalain.
Sedangkan Metode Syafi’iyah digunakan oleh
ulama Syafi’iyah, yang juga digunakan oleh ulama Malikiyah, Hanabilah dan
zahariyah. Terbagi menjadi 4 tahap yaitu:
·
Al-Jam’u wa Taufiq, Tarjih,
·
Naskh, Tasaqut al-Dalalain.
Dalam Pembahasan ini Penyelesaian Ta’arudh
al-Adillah lebih mengarah kepada pemahaman ulama Syafi’iyah yaitu Metode
Syafi’iyah. Apabila ditemukan dua dalil yang kontradiksi secara lahirnya, maka
harus diadakan pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan
yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah
diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka
pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul telah
merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang
bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:
“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu
lebih baik daripada meninggalkan keduanya“
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan
penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:
1.
Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi yaitu :
a.
Taufiq (kompromi)
atau Al-Jam’u wa
Al-Taufiq ( والتوفيق
الجمع )
b.
Takhsis,
2.
Mengamalkan satu diantara dua dalil yang
kontradiksi
c.
Nasakh
d.
Tarjih dan Takhyir
3.
Meninggalkan dua dalil yang kontradiksi.
e.
Tawaquf
f.
Tasaquth Al-Dalilain ( الدليلين
تساقط )
Adapun pembahasan dari tahapan-tahapan di atas
adalah sebagai berikut:
1). Mengamalkan Dua Dalil Yang Kontradiksi (Al-Jam’u
Wa Al-Taufiq),dapat ditempuh dengan cara:
a.
Taufiq (kompromi)
atau Al-Jam’u wa
Al-Taufiq ( والتوفيق
الجمع )
Maksudnya
adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan
atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut,
sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi. Contoh:
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan
meninggalkan istri-istri hendaklah berwasiat bagi istri-istri mereka untuk
bersenang –senang selama satu tahun.” (QS. Al-Baqarah: 240)
Dengan ayat yang berbunyi:
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan
meninggalkan istri-istri hendaklah istri-istri itu menahan diri selama empat
bulan sepuluh hari.”
Kedua ayat di atas secara lahir memang
berbenturan karena ayat yang pertama menetapkan iddah selama satu tahun,
sedangkan ayat yang kedua menetapkan iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan
menjelaskan bahwa yang dimaksud bersenang-senang selama satu tahun pada ayat
pertama adalah hak mantan istri untuk tinggal di rumah mantan suaminya selama satu
tahun (jika tidak menikah lagi). Sedangkan masa iddah selama empat bulan
sepuluh hari dalam ayat yang kedua maksudnya adalah sebagai batas minimal untuk
tidak menikah lagi selama masa itu. Contoh lain:
(QS. al-Maidah ayat 3) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّامُ…
Dalam ayat ini
diterangkan bahwa darah tidak dibedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh
dengan darah yang sudah beku, seperti hati Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
(QS. Al-An’am ayat 145) مسفوحا دما أو
ميتة يكون أن إلا….
Didalam ayat
ini mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
Dengan demikian darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat
3 dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An’am ayat 145.
b. Takhsis.
yaitu jika dua
dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha
kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain
bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur
hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya
sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.
Contoh firman
Allah QS. Al-Baqarah:228 yang berbunyi:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan
diri (menungu) tagi kali sesuci.” (QS. Al-Baqarah:22)
Dan pada ayat lain sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami)
waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya.”
Perbenturan secara zhahir kedua ayat di atas
bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri
yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai
melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam
dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi istri
yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usaha takhsis ini
ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya.
2). Mengamalkan Satu Dalil Diantara Dua Dalil
Yang Berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat
dikompromikan atau di takhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat
diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat diamalkan.
Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan 3 cara:
a. Nasakh.
Maksudnya
apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil yang
kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan
dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu
dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan
sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi. Contoh:
Artinya: “ dari
zaid bin khalid ra.aku bertanya kepada “usman bin A ‘Affan ra : bagimana
pendapatmu jika salah satu dari kamu menggauli istrinya, tetapi ia tidak
mengeluarkan mani, ia (usman) menjawab : “hendaklah ia berwudhu’ sebagaiman
wudhu’ ketika hendaklah shalat dan mencuci kemaluannya” (HR. Bukhori dan
Muslim)
sebagaimana yang terjadi pada hadist di atas,
dan juga hadits di bawah ini yang berbunyi:
artinya : “ dari abi hurairah ra, dari
Rasulullah saw, dia bersabda “apabila seseorang menyetubuhi isterinya, maka ia
wajiblah baginya mandi baik keluar sperma ataupun tidak”(HR. Ahmad).maksudnya
wajib mandi itu disebabkan bertemunya dua khitan.
Hadis pertama yang berasal dari Zaid nin khalid
adanya diawal islam, sebelum fathu makkah, seorang suami yang menggauli
istrinnya, kalau tidak sampai keluar mani tidak wajib mandi. Sedangkan hadis
kedua yang berasal dari abu hurairah disampaikan rasul pada masa sesudahnya.
b. Tarjih.
Maksudnya adalah apabila diantara dua dalil
yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau
berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun ditemukan
banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu diantaranya lebih kuat dari
pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk yang menguatkan
itu, dan dalil yang lain ditinggalkan. Contoh:
Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra.
tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah
yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani.
c. Takhyir.
Maksudnya bila
dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih,
namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya
ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan,
sedangkan yang lain tidak diamalkan.
3).
Meninggalkan Dua Dalil Yang Berbenturan
Bila
penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan
dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan
dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu
ada dua bentuk, yaitu:
a. Tawaquf (menangguhkan),
menangguhkan
pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain
untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.
Tasaquth (saling berguguran) meninggalkan
kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar