Kamis, 12 Desember 2013

PENGERTIAN TA’ARUD AL-ADILLAH



BAB II
PEMBAHASAN

1.    PENGERTIAN TA’ARUD AL-ADILLAH
A.     Ta’arud Al-Adillah Secara bahasa kata ( التعارض ) berarti pertentangan dan lafadz (الأدلة) merupakan jama’ dari lafadz (الدليل ) yang berarti alasan, argument dan dalil.
B.     Menurut ahli ushul fiqih



C.     Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi sebagai berikut:

“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 180).
Ayat di atas secara dhahir maknanya mengalami kontradiksi dengan ayat sebagai berikut:


“Allah mensyari’tkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian orang laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’:11)
Ayat pertama mewajibkan kepada yang telah merasa mendekati ajalnya agar mewasiatkan harta pusakanya kepada orang tua dan sanak kerabatnya secara baik. Dan ayat kedua menetapkan masing-masing orang tua anak-anak dan sanak kerabat mendapat hak dari harta pusaka lantaran wasiat Allah bukan wasiat yang mewariskan. Berarti kedua ayat tersebut kontradiksi secara makna lahirnya dan mungkin bisa mengkompromikan keduanya, yaitu jika yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 180 itu kedua orang tua dan sanak kerabat, maka itu merupakan ketentuan tentang mereka yang terhalang mendapat warisan oleh suatu penghalang seperti perbedaan agama.
D.     Cara Penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah.
Penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah secara garis besar terbagai menjadi 2 metode yang digunakan oleh mujtahid yaitu Metode Hanafiyah dan Metode Syafi’iyah.
Hanafiyah Membagi Usaha-usaha Penyelesaian Ta’arudh al-Adillah menjadi 4 tahap yaitu:
·         Naskh, Tarjih
·         Jam’u wa Taufiq, Tasaqut al-Dalalain.
Sedangkan Metode Syafi’iyah digunakan oleh ulama Syafi’iyah, yang juga digunakan oleh ulama Malikiyah, Hanabilah dan zahariyah. Terbagi menjadi 4 tahap yaitu:
·         Al-Jam’u wa Taufiq, Tarjih,
·         Naskh, Tasaqut al-Dalalain.
Dalam Pembahasan ini Penyelesaian Ta’arudh al-Adillah lebih mengarah kepada pemahaman ulama Syafi’iyah yaitu Metode Syafi’iyah. Apabila ditemukan dua dalil yang kontradiksi secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:
“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:
1.      Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi yaitu :
a.       Taufiq (kompromi) atau Al-Jam’u wa Al-Taufiq ( والتوفيق الجمع )
b.      Takhsis,
2.      Mengamalkan satu diantara dua dalil yang kontradiksi
c.       Nasakh
d.      Tarjih dan Takhyir
3.      Meninggalkan dua dalil yang kontradiksi.
e.       Tawaquf
f.       Tasaquth Al-Dalilain ( الدليلين تساقط )
Adapun pembahasan dari tahapan-tahapan di atas adalah sebagai berikut:
1). Mengamalkan Dua Dalil Yang Kontradiksi (Al-Jam’u Wa Al-Taufiq),dapat ditempuh dengan cara:
a.        Taufiq (kompromi) atau Al-Jam’u wa Al-Taufiq ( والتوفيق الجمع )
Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi. Contoh:
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah berwasiat bagi istri-istri mereka untuk bersenang –senang selama satu tahun.” (QS. Al-Baqarah: 240)
Dengan ayat yang berbunyi:
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah istri-istri itu menahan diri selama empat bulan sepuluh hari.”
Kedua ayat di atas secara lahir memang berbenturan karena ayat yang pertama menetapkan iddah selama satu tahun, sedangkan ayat yang kedua menetapkan iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud bersenang-senang selama satu tahun pada ayat pertama adalah hak mantan istri untuk tinggal di rumah mantan suaminya selama satu tahun (jika tidak menikah lagi). Sedangkan masa iddah selama empat bulan sepuluh hari dalam ayat yang kedua maksudnya adalah sebagai batas minimal untuk tidak menikah lagi selama masa itu. Contoh lain:
   (QS. al-Maidah ayat 3)   حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّامُ
Dalam ayat ini diterangkan bahwa darah tidak dibedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku, seperti hati Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
 (QS. Al-An’am ayat 145) مسفوحا دما أو ميتة يكون أن إلا….
Didalam ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. Dengan demikian darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat 3 dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An’am ayat 145.
b.    Takhsis.
yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.
Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah:228 yang berbunyi:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tagi kali sesuci.” (QS. Al-Baqarah:22)
Dan pada ayat lain sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya.”
Perbenturan secara zhahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usaha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya.
2). Mengamalkan Satu Dalil Diantara Dua Dalil Yang Berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau di takhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan 3 cara:
a.      Nasakh.
Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi. Contoh:


Artinya: “ dari zaid bin khalid ra.aku bertanya kepada “usman bin A ‘Affan ra : bagimana pendapatmu jika salah satu dari kamu menggauli istrinya, tetapi ia tidak mengeluarkan mani, ia (usman) menjawab : “hendaklah ia berwudhu’ sebagaiman wudhu’ ketika hendaklah shalat dan mencuci kemaluannya” (HR. Bukhori dan Muslim)
sebagaimana yang terjadi pada hadist di atas, dan juga hadits di bawah ini yang berbunyi:


artinya : “ dari abi hurairah ra, dari Rasulullah saw, dia bersabda “apabila seseorang menyetubuhi isterinya, maka ia wajiblah baginya mandi baik keluar sperma ataupun tidak”(HR. Ahmad).maksudnya wajib mandi itu disebabkan bertemunya dua khitan.
Hadis pertama yang berasal dari Zaid nin khalid adanya diawal islam, sebelum fathu makkah, seorang suami yang menggauli istrinnya, kalau tidak sampai keluar mani tidak wajib mandi. Sedangkan hadis kedua yang berasal dari abu hurairah disampaikan rasul pada masa sesudahnya.
b.      Tarjih.
Maksudnya adalah apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu diantaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan. Contoh:
Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra. tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani.
c.       Takhyir.
Maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan.
3). Meninggalkan Dua Dalil Yang Berbenturan
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
a.      Tawaquf (menangguhkan),
menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.
Tasaquth (saling berguguran) meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar